MAKALAH PANCASILA
JATI DIRI INDONESIA:
PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME
FAIRUZ SANIYYA PUSPITASARI
12. 11. 6476
S1- TEKNIK INFORMATIKA
DOSEN PEMBIMBING : JUNAIDI, MP3
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013
Jl.
Ring Road Utara, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena berkah, rahmat
dan bimbingannya, maka pembuatan makalah dengan judul “Jati Diri Bangsa Indonesia,
Pancasila dan Multikulturalisme” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam
pembuatan makalah ini penulis menyadari, terwujudnya makalah sederhana ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu kami sangat berterima
kasih kepada pihak yang sudah memberikan kontribusi dalam penyelesaian
pembuatan Makalah ini, antara lain :
- Bapak Junaidi, MP3. Selaku Dosen Pembimbing Mata kuliah Pancasila di STMIK
AMIKOM YOGYAKARTA.
2. Rekan-rekan
mahasiswa kelompok I di Citra 2.
3. Semua
pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu baik
moril maupun materiil dalam proses pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari, walaupun daya dan upaya telah dikerahkan sedemikian rupa dalam
rangka penyusunan makalah ini, namun disana sini masih banyak ditemui
kekurangan-kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi
yang memerlukannya.
.Yogyakarta,
7 Oktober 2012
Hormat
kami
(Fairuz
Saniyya Puspitasari)
12.11.6476
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman
Judul ………………………………………………………………
1
Kata
Pengantar ……………………………………………………………...
2
Daftar
isi ……………………………………………………………………
3
BAB
I PEMBAHASAN
A. Multikulturalisme
Perspektif Bhineka Tunggal Ika ………………. 4
B. Multikulturalisme
Perspektif Dasar-dasar Kewarganegaraan …….. 5
C. Pancasila
sebagai Jati diri Bangsa Indonesia ………………………… 8
D. Dampak
pancasila terhadap Dunia pendidikan Multikultural………… 9
BAB
II SOLUSI DAN ANALISIS PEMBAHASAN
A. Bagaimana
kaitannya dengan peran Negara …………………………. 14
B. Bagaimana
kaitannya bagi dunia pendidikan ………………………… 15
C. Bagaimana
dampaknya bagi generasi muda Indonesia ………………. 17
BAB
III KESIMPULAN
A. Kritik
………………………………………………………………….. 19
B. Saran
…………………………………………………………………... 19
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………………………… 20
Bab I
Pembahasan
A.
Multikulturalisme
Perspektif Bhinneka Tunggal Ika
Konsep
Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar
Mpu Tantular dan secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu
atau Although in pieces yet One, merupakan ilustrasi dari jati diri bangsa
Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas
keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya dll). Secara akademis, konsep bhinneka
tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam konteks konsep generik
multiculturalism atau multikulturalisme.
Secara harfiah Bhinneka
Tunggal ika diartikan sebagai bercerai berai tetapi merupakan wujud
ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia secara natural. Dan social-kultural
yang dibangun atas keanekaragaman.
Negara kita Indonesia terdiri atas banyak pulau dan
suku bangsa serta golongan warga negara, maka kita harus selalu menjunjung
tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam
hal ini, kita tidak boleh mempertentangkan perbedaan bentuk dan wujud
kebudayaan yang beraneka ragam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
kita, tetapi keanekaragaman itu hendaknya saling melengkapi dan semuanya itu
merupakan khazanah kebudayaan kita.
Sudah
banyak wacana tentang model demokrasi yang cocok dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika”
dengan liku-liku pengalaman historis, serta perkembangan ekonomi, serta
interaksinya dengan kecenderungan globalisasai semakin banyak dikembangkan.
Diantara berbagai wacana yang menonjol adalah proses demokrasi yang dikaitkan
dengan konsep masyarakat madani, yang secara substantif menghargai
multikulturalisme. Untuk mewujudkannya diperlukan penghayatan yang utuh dan
pengalaman yang tulus serta dukungan prasaran sosial budaya
Kepulauan nusantara ini sebagai kekuatan social dan
budaya berarti bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, berperikehidupan yang
serasi, untuk menuju ketujuan yang sama yakni hidup maju, yang merata dan
seimbang dengan cara kita kembangkan lagi corak ragam budaya yang menggambarkan
kekayaan bangsa kita agar dapat kita nikmati bersama hasilnya.
B.
Multikulturalisme
Perspektif Dasar-dasar Kewarganegaraan
Pancasila sebagai alat
pemersatu bangsa merupakan hal yang penting mengingat Indonesia merupakan
negara dengan keberagaman suku sehingga Pancasila dibutuhkan terkait dengan
integrasi nasional.
Rintangan utama pada
pembangunan integrasi nasional adalah eksistensi dari etnis atau minoritas
kultural dalam sebuah negara yang menolak kecenderungan integrasi. Makna rasa kesukuan bahkan menjadi lebih dramatis
dalam masalah-masalah integratif yang timbul di negara-negara dimana
masyarakatnya memiliki identitas etnis yang sangat kuat.
Tegasnya, peranan yang
dimainkan oleh faktor kesukuan jangan dianggap kecil, baik dalam kasus
daerah-daerah yang memiliki identitas suku yang kuat maupun di daerah-daerah
dimana penduduknya merupakan campuran dari berbagai suku. Dalam
hal yang terakhir ini, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Liddle, etnisitas
mungkin bercampur dengan dan dikurangi oleh ikatan-ikatan primordial lain, akan
tetapi rasa kesukuan itu tidak sirna.
Negara menghadapi
konflik-konflik internal akibat meningkatnya semangat primordialisme;
menyebarnya ideologi etnonasionalisme dan lokalisme yang menguat.Kesetiaan primordial ini sifatnya kolektif terutama dalam
penggunaan bahasa dan budaya serta sangat emosional. Tidak
perlu ada keberatan terhadap kesetiaan primordial selama ia tidak menghasilkan
ketegangan-ketegangan regional dan kultural, dan sepanjang ia tidak
bertentangan dengan kesetiaan nasional.
Dalam dinamika
pluralisme Indonesia tersebut, kewarganegaraan hadir dalam rangka pemersatu di
antara perbedaan yang ada dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme terhadap
negara Indonesia. Sama halnya dengan Pancasila yang merupakan konsep dari bhinneka
tunggal ika, kewarganegaraan juga memperhatikan keberagaman budaya yang
dapat memotret pluralisme di Indonesia. Salah satunya adalah Will Kymlicka yang
mengemukakan teori mengenai Kewarganegaraan Multikultural yang bersandar pada
pandangan bahwa seorang warganegara selain merupakan individu yang otonom, juga
merupakan bagian dari kelompoknya.
Dengan konsepsi
kewarganegaraan multikultur, pendidikan kewarganegaraan mengenalkan kita pada
prinsip keadilan yang memperlakukan semua orang dengan sama. Hal ini ditekankan
oleh Thomas Janoski yang menyatakan bahwa kewarganegaraan adalah sebuah
pernyataan dari persamaan hak, dengan hak-hak dan kewajiban yang seimbang dalam
batasan-batasan tertentu.
Persamaan dalam hal ini
mungkin tidak sempurna, tetapi hal tersebut paling memerlukan peningkatan
hak-hak minoritas dalam berhadapan dengan elit-elit sosial. Persamaan
ini sebagian besar bersifat prosedural, tetapi juga dapat termasuk hal-hal yang
substantif. Dengan adanya persamaan, maka prinsip
keadilan bagi seluruh kaum termasuk kaum minoritas dijamin dalam kerangka
kewarganegaraan multikultural.
Dalam usaha untuk
mewujudkan prinsip persamaan, keadilan, dan keterwakilan, teori kewarganegaraan
multikultural Kymlicka membedakan hak-hak minoritas bagi kelompok etnis, yaitu
hak-hak pemerintahan sendiri, hak-hak polyetnik, dan hak-hak perwakilan khusus. Terkhusus hak-hak polyetnik, dimaksudkan untuk
membantu kelompok etnis dan minoritas agama untuk menyatakan kekhasan budayanya
dan harga diri tanpa menghalangi keberhasilan mereka dalam lembaga ekonomi dan
politik dari masyarakat dominan. Ketiga bentuk
kewargaan kelompok yang dibedakan dapat digunakan untuk memberikan perlindungan
eksternal. Caranya adalah, setiap bentuk membantu
melindungi minoritas dari kekuasaan ekonomi dan politik masyarakat yang lebih
luas, walau masing-masing menjawab pada tekanan eksternal yang berbeda dalam
cara yang berbeda, yaitu:
1.
Hak perwakilan kelompok khusus di dalam lembaga politik masyarakat
yang lebih luas menjadikan kecil kemungkinan bahwa minoritas bangsa atau etnis
akan diabaikan dalam keputusan yang dibuat berbasiskan seluruh negeri.
2.
Hak atas pemerintahan sendiri mengalihkan kekuasaan ke unit
politik yang lebih kecil sehingga minoritas bangsa tidak dapat dikalahkan dalam
pemilihan atau dalam tawar-menawar oleh mayoritas berkenaan dengan keputusan
yang sangat penting bagi kebudayaannya.
3. Hak
polietnis melindungi praktik-praktik agama dan budaya yang khas, yang mungkin
tidak didukung secara layak melalui pasar atau yang dirugikan oleh perundangan
yang ada.
Akomodasi dari
perbedaan-perbedaan ini adalah inti dari kesetaraan yang sebenarnya, dan
hak-hak khusus kelompok tersebut diperlukan untuk mengakomodasi
perbedaan-perbedaan yang ada. Walau hak-hak
kelompok yang dibedakan untuk minoritas bangsa mungkin secara sekilas tampak
mendiskriminasi, hak-hak itu sebenarnya konsisten dengan prinsip-prinsip
mengenai kesetaraan.
Jika bukan karena
hak-hak kelompok yang dibedakan itu, para anggota kebudayaan minoritas tidak
akan mempunyai kemampuan yang sama untuk hidup dan bekerja dalam bahasa dan
kebudayaan sendiri yang dianggap lumrah bagi para anggota dari kebudayaan
mayoritas.
Dengan pandangan
demikian, maka intisari yang dapat diambil dari pembahasan tersebut adalah
bahwa di dalam kewarganegaraan juga terdapat nilai-nilai yang ada di dalam
Pancasila sehingga dengan menetapkan Pancasila sebagai bagian dari
kewarganegaraan tidaklah mengerdilkan Pancasila itu sendiri.
Kemudian, berbeda dengan
pendapat yang diungkapkan oleh Sudijarto di awal tadi bahwa pendidikan
kewarganegaraan tidak akan mampu mentransformasikan nilai-nilai Pancasila,
menurut saya kewarganegaraan justru dapat mentransformasikan nilai-nilai yang
ada dalam Pancasila dalam bahasa yang berbeda. Apabila dirangkum mengenai persamaan
nilai yang dapat diambil dari substansi antara Pancasila dengan
kewarganegaraan, maka dapat dirumuskan menjadi 2 hal yang utama:
1.
Seperti halnya kewarganegaraan, Pancasila menghindari
otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan pluralisme sebagai ciri
permanen dari kebudayaan yang demokratis di Indonesia. Pancasila
tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa.
Pancasila sebagai
konsepsi politis hanya berlaku pada struktur dasar masyarakat dari kehidupan
bernegara, sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang
politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang,
tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara. Hal ini sejalan dengan kewarganegaraan yang melindungi
hak dan kebebasan dari warganegara, terutama dalam konsepkewarganegaraan
multikultural maupun konsep tripartite Marshall atas hak sipil, politik,
dan sosial yang biasanya diambil sebagai langkah awal untuk segala hal yang
berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan.
2. Pancasila
dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi
warga negara yang hidup dalam sebuah negara. Gagasan fundamental Pancasila
mengenai kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh
mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam
politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hokum juga dijamin dalam konsep-konsep kewarganegaraan sehingga
poin kedua ini menegaskan bahwa substansi Pancasila dan kewarganegaraan adalah
sama namun dalam bahasa yang berbeda.
C.
Pancasila
sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia
Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan pandangan
hidup dan cita-cita yang meliputi jati diri serta watak yang sudah berakar didalam kebudayaan
Indonesia. Pancasila tidak lahir mendadak pada saat kemerdekaan tetapi melalui
proses sejarah panjang Indonesia yang kembali lahir pada tahun 1945 melalui
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selama itu kita telah mengalami masa-masa penghinaan
dijajah selama 350 tahun. Pengalaman yang panjang itu yang menjadikan
bertambahnya keyakinan bahwa hanya dengan Pancasila sebagai jati diri,
kepribadian, dan dasar negara mencapai cita-cita masyarakat yang merdeka.
Jati diri bangsa Indonesia mulai tampak pada saat
Sumpah Pemuda, waktu itu pemuda Indonesia berikrar bahwa mereka merupakan satu
nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dan puncaknya pada Proklamasi kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Lahirnya bangsa Indonesia pada saat itu
membuktikan kepada dunia bahwa di tanah Nusantara telah lahir sebuah bangsa
yang besar dan merupakan kebangkitan kembali pada masa Majapahit dan Sriwijaya.
Bangsa ini akan terus kuat dan akan
menampakan wajahnya dan untuk memudahkan membedakan bangsa lain adalah dari
jati diri bangsa itu sendiri yaitu pancasila. Oleh karena itu Pancasila akan
selalu berarti dan kuat selagi bangsa ini tetap dalam jiwanya dari mulai
lahirnya bangsa ini hingga seumur hidup.
D.
Dampak
Pancasila terhadap Dunia Pendidikan Multikultural
Pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan
untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dapat
membangun dirinya sendiri dan juga lingkungannya.
Pendidikan
Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran atau mata kuliah), sebagai
proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik membangun
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan
(proses nation’s character building).
Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra:2001).
Kemasan kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut (Winataputra:2001).
Dalam
kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962, Pendidikan
Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila
tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun 1994, dan Pendidikan
Kewarganegaraan tahun 2003. Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal
Pancasila dan Kewiraan Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Kewiraan tahun 1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003.
Untuk Indonesia pada saat ini, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas, yakni pada pasal 37 menggariskan program kurikuler pendidikan
kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan
menengah serta pendidikan tinggi.
Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Semua proses pendidikan pada akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan Pancasila adalah belajar atau learning. Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan misi utama darai proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam Pasal 1 butir 20 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa ”Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Satuan
pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, sekolah tinggi, institut, dan
universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang
terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada. Oleh karena itu proses
belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai proses interaksi
sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan hanya dibatasi
pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah.
Dalam
kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus
diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam
pembelajaran mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian
Pancasila. Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan
pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient pembangunan watak dan
peradaban Indonesia yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia.
Dalam
konteks itu maka satuan pendidikan seyogyanya dikembangkan sebagai satuan
sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praksis
kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan mencerdaskan.
Untuk itu perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan indonesia yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajuikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural.
Untuk itu perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan indonesia yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan. Kabajuikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural.
Semua
unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan
“civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia
yang berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya
masyarakat madani-Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya
akhlak kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya
kewarganegaraan yang ber-Pancasila (civic culture).
Oleh
karena itu diperlukan adanya dan berperannya pendidikan Pancasila yang
menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak
kewarganegaraan-Pancasilais. Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut
harus mampu memberi kontribusi terhadap berkembangnya multikulturalime Pacasila
yang menjadi inti dari masyarakat madani-Pancasila yang demokratis.
Inilah
tantangan konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila untuk membangun
demokrasi konstitusional di Indonesia.
Masyarakat madani-Pancasila yang multikultural merupakan “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Hal itu perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik.
Masyarakat madani-Pancasila yang multikultural merupakan “civic community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Hal itu perlu dipatri oleh kualitas pribadi “…true belief and sacrifice for God, respect for human rights, enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision making at various levels, and implementation of the new form of civic education to develop smart and good citizens”.(Sudarsono,1999:2). Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap hak azasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik.
Dari
situ dapat ditangkap tantangan bagi pendidikan demokrasi konstitusional di
Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila dengan keseluruhan upaya
pengembangan kualitas warganegara dan kualitas kehidupan multikultural yang
ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia.
Identitas
pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture Indonesia yang
multikulturalistik perlu dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam
berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat
perlu dikembangkan adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue
adalah …the willingness of the citizen to set aside private interests and
personal concerns for the sake of the common good (Quigley, dkk,1991:11)- atau
kemauan dari warganegara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi.
Civic
virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif memiliki
dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic committments. Sebagaimana
dirumuskan oleh Quigley,dkk (1991:11) yang dimaksud dengan civic dispositions
adalah …those attitudes and habit of mind of the citizen that are conducive to
the healthy functioning and common good of the democratic system atau sikap dan
kebiasaan berpikir warganegara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang
sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi.
Sedangkan
civic committments adalah …the freely-given, reasoned committments of the
citizen to the fundamental values and principles of constitusional democracy
atau komitmen warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap
nilai dan prinsip demokrasi konstitusional. Kedua unsur dari civic virtue
tersebut diyakini akan mampu menjadikan proses politik berjalan secara efektif
untuk memajukan the common good atau kemaslahatan umum dan memberi kontribusi
terhadapperwujudan ide fundamental dari system politik termasuk …protection of
the rights of the individual” atau pelindungan hak-hak azasi manusia (Quigley,
dkk,1991:11)
Proses
politik yang berjalan dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan
memberi kontribusi berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem
politik termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah
ciri kehidupan politik yang ditopang kuat oleh civic culture.
Secara
konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian,
yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam
kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab
individual, self-discipline atau disiplin diri, civic-mindednes atau kepekaan
terhadap masalah kewargaan, open-mindedness (terbuka, skeptis, mengenal
ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration
of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau
kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan , generosity atau kemurahan
hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa
dan segala aturannya. (Quigley,dkk,1991:13-14).
Kesemua
itu, yakni keadaban yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi,
tanggungjawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat,
keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap
kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan
batas-batas kompromi, toleransi pada keberagaaman, kesabaran dan keajekan,
keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya
merupakan karakter intrinsik dari sikap warganegara.
Sedangkan
civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan
sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental demokrasi konstitusional,
dalam hal ini di Amerika, yang meliputi…popular souvereignty, constitutional
government, the rule of law, separation of powers, checks and balances,
minority rights, civilian control of the military, separation of church and
state, power of the purse, federalism, common good, individual rights (life,
liberty: personal, political, economic, and the pursuit of happiness), justice,
equality (political, legal, social, economic), diversity, truth, and
patriotism. (Quigley, dkk,1991:14-16).
Kesemua
itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip negara
hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak minoritas,
kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan agama, kekuasaan
anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual yang
mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,dan kebahagiaan),
keadilan, persamaan (dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi),
kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air. Tentu saja tidak semua hal
tersebut berlaku untuk Indonesia.
Pengembangan
dimensi civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan civic participation
yang memang merupakan tujuan akhir dari civic education, atau pendidikan
Pancasila untuk Indonesia. Dimensi civic participation dikembangkan dengan
tujuan untuk memberikan …the knowledge and skills required to participate
effectively;…practical experience in participation designed to foster among
students a sense of competence and efficacy dan mengembangkan … an
understanding of the importance of citizen participation (Quigley, dkk,
1991:39), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk berperanserta
secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperanserta yang dirancang untuk
memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan
mengembangkan pengertian tentang pentingnya peranserta aktif warganegara. Untuk
dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental
concepts, history, contemporary events, issues, and facts related to the matter
and the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act
in accord with the traits of civic characters; and a commitment to the
realization of the fundamental values and principles. (Quigley,dkk,1991:39).
Semua
hal tersebut di muka menunjuk pada pengetahuan tentang konsep fundamental,
sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan subsantsi
dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual, dan
kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warganegara.
Dalam
konteks Indonesia secara keseluruhan harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai komitment kolektif dan semangat
ke-Indonesiaan yang multikultural. Dalam pendidikan juga
harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta kepada tanah air
dan juga meningkatkan semangat bangsa serta kesadarn pada sejarah bangsanya dan
menghargai jasa-jasa pahlawan.
Dan dengan diberikannya pendidikan multicultural
diharapkan adanya kelunturan mental bangsa dalam menghadapi konflik-konflik
yang berbau suku antar golongan, ras dan agama (SARA), sehingga persatuan
bangsa tidak mudah retak dan terjadi disintregasi bangsa.
I.
SOLUSI
DAN ANALISIS PEMBAHASAN
1.
Bagaimana
kaitannya dengan peran Negara
Pancasila
selalu dituangkan dalam Pembukaan dan Mukadimah UUD itu, cukup member bukti
bahwa Pancasila memang selalu dikehendaki sebagai dasar kerohanian Negara,
dikehendaki sebagai falsafah Negara.
Dasar
falsafah Negara ini jelas diterima oleh seluruh bangsa Indonesia, karena ia
sebenarnya tertanam dalam kalbu Rakyat Indonesia, oleh karena itu ia juga
merupakan dasar falsafah Negara yang mampu mempersatukan Rakyat.
Dasar
falsafah Negara adalah perwujudan pandangan hidup dan pegangan hidup Rakyat dan
Bangsa. Pegangan hidup ini sangat perlu, untuk masa kini maupun masa depan,
lebih-lebih bagi bangsa Indonesia yang dalam pertumbuhannya selalu mengalami
cobaan-cobaan yang berat.
Dengan
Dasar falsafah Negara itu kita dapat menentukan pendirian kita terhadap segala
macam masalah pokok yang kita hadapi baik masalah-masalah dalam Negeri maupun
masalah-masalah luar Negeri; karena Pancasila
merupakan sumber tertib social, ia menjadi sumber tertib seluruh
peri-kehidupan kita, baik sebagai individu, maupun dalam ikatan golongan,
ikatan Partai Politik, ikatan Organisasi, ia merupakan sumber tertib Negara dan
tertib hukum serta harus menjadi pedoman
dan dilaksanakan oleh pemerintah, semua aparatnya dan oleh setiap pejabat dalam
melaksanakan kekuasaan serta tugasnya.
2.
Bagaimana
dampaknya bagi dunia pendidikan
Secara sederhana
pendidikan multi-kultural dapat didefinisikan sebagai
“pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Agar definisi ini bermanfaat, perlu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud
dengan “budaya” dan “kebudayaan”. Upaya perumusan ini jelas tidak mudah, karena
perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu
sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat.
Pada
dasarnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural
education yang bertujuan mengembangkan nilai-nilai universal yang
dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda.
Pada tahap pertama,
pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu agar
tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya
dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi
dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan
lain-lain.
Tetapi, harus diakui,
pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada
masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas terjadi bukan pada tingkat
individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar
mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu
pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi
konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya
mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multi-kultural.
Karena itu, seperti
dikemukakan Tilaar (2002:498), dalam program pendidikan multikultural, fokus
tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural
dominan atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan
pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan
toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat
membuat orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam
masyarakat mainstream.
Pendidikan
interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak
peduli (indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi
bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural yang
rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference),
atau “politics of recognition”, politik pengakuan terhadap orang-orang
dari kelompok minoritas (Cf Taylor et al 1994).
Dalam konteks itu,
pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan
pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition”
berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan
multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai
bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
Paradigma seperti ini
pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies”,
untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari
tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan
tentang semua subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment)
bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Istilah “pendidikan
multi-kultural” (multicultural education) dapat digunakan baik pada
tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isyu-isyu dan
masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih
jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap
kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di
dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka
kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti;
toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural, dan agama; bahaya
diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas;
kemanusiaan universal, dan subyek-subyek lain yang relevan.
Perumusan dan
implementasi pendidikan multi-kultural di Indonesia—hemat saya—masih memerlukan
pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi
pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan
ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri
(separated), atau sebaliknya “terpadu” atau terintegrasi (integrated).
Terlepas dari berbagai isyu dan masalah ini, yang jelas—menurut
saya—perkembangan Indonesia sekarang kelihatannya membutuhkan pendidikan
multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi
pembentukan “keikaan” di tengah “kebhinnekaan” yang betul-betul aktual; tidak
hanya sekedar slogan dan jargon. Dan ini, pada gilirannya akan memperkuat
aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.
Bagaimana
dampaknya bagi generasi muda Indonesia
Indonesia sebagai negara multikultural adalah tinjauan historistik
sejarah disaat berdirinya negeri ini sebagai aset kongkrit dialektika
masyarakatnya. Segala bentuk kebudayaan, etnisitas, suku, ras hingga agama
adalah warna tersendiri bagi Indonesia ibarat sebuah pelangi, berbeda namun
indah terasa, dengan corak estetika demi kemajuan bangsa. Selanjutnya
muncul berbagai asumsi, berbagai argumentasi maupun pertanyaan mengenai
Indonesia itu sendiri, mengapa negara yang besar, dengan penduduk yang
jumlahnya cukup besar, mampu bersanding dengan alur hidup jalannya negara
diatas perbedaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua aspek yang harus
terlebih dahulu untuk dipahami dan dimengerti kaidah serta penjabarannya,
maupun prospek kontinyu yang mampu mempertahankan eksistensi negara ini. Dua
aspek inilah yang menjadi dasar dan pondasi, penentu baik dan buruk, hitam dan
putih, ataupun benar dan salahnya suatu bangsa. Aspek ini diibaratkan layaknya
dua mata uang logam yang tak dapat dipisah ataupun seperti ikatan yin dan yang dalam
mitologi etnis china. Aspek inilah yang menjadi penggerak sentral negara dalam
meraih atau mencapai tujuan negara, seperti yang terangkum dalam Undang- Undang
Dasar 1945. Kedua aspek negara ini ialah dasar negara, pancasila dan pemudanya.
Pancasila lahir berasaskan tujuan yang satu, maklumat yang sama,
yaitu berasaskan sama rasa dan sama rata dalam peradaban masyarakat dikala itu.
Pancasila yang merangkum lima falsafah kehidupan masyarakat Indonesia,
nampaknya memiliki kesinambungan yang jauh kedepan dan tak lekang oleh waktu.
Dasar negara ini, berdasarkan tinjauan historis futuristisnya nyatanya
diprakarsai oleh pemuda-pemuda di masa itu sebagai acuan pergerakan pemuda di
masa mendatang. Selanjutnya, yang menjadi trandsetter dangood
branding saat ini dalam eksistensi negara ialah peran serta pengaruh
media dalam dalam merealisasikan segala bentuk kepentingan masyarakat dalam
suatu lingkup negara. Artinya, media adalah suatu bentuk jembatan
konstitusional untuk mendapatkan informasi, berbagi persepsi, maupun
pembentukan citra pribadi, dengan kata lain media dapat disebut sebagai
pencapaian tertinggi dalam ilmu informatika. Berdasarkan hal itu, pemuda yang
semula dianggap agent of change atau agent of
modernization nyatanya harus mengakui adanya sedikit pergeseran peran
dan fungsinya dalam mengaktualisasikan suatu gerakan perubahan. Pemuda saat ini
terjebak dalam dimensi negatif dari informatika yang cenderung menciptakan
sifat kemalasan, turunnya semangat juang bahkan apatisasi gerakan. Pemuda
berada pada titik nadirnya apabila tak mampu mengdikotomikan antara peran
sertanya dalam pembangunan negara dan dampak kongkritnya dalam kajian
informatika.
Kita semua paham dan sadar, bahwa jikalau suatu pondasi ataupun
dasar berpijak itu kuat, maka dinding dan atapnya pun pasti kokoh untuk
berdiri. Ini sama halnya dengan aktualisasi serta kontribusi pemuda dalam
bergerak, berderap dan melaju. Untuk mewujudkan hal ini, setiap pemuda haruslah
memiliki semangat heroik yang membara, yaitu ada kesinambungan aksi dan pondasi
tadi. Dengan artian, pancasila adalah ruh tertinggi, norma sosial dengan
validitas yang mumpuni, ataupun pondasi untuk berdikari. Kita bisa melihat
bagaimana carut marutnya sistem perpolitikan, sistem administrasi, kasus korupsi,
tindak asusila yang terang- terangan dilakukan oleh aktor negara dalam
memanipulasi uang rakyat, dan sementara kita disini berleha-leha tanpa ada
aksi, tanpa ada ide yang tertuang dalam tulisan. Para elit tak akan berani
untuk bergerak dan pemerintah akan lebih teliti dalam menjalankan amanat
rakyat, dan semua itu selalu diwadahi dan disesuaikan dengan landasan dan
pondasi tadi, yaitu Pancasila.
“Pemuda itu cahaya dan api yang menyala, yang dapat menerangi
kegelapan asa dan harapan. Pemuda itu pelopor, pembawa obor masa depan,
penggerak nurani tua yang gersang”- Sajak Indah dari A. Fatih Syuhud, 2004-
Generasi muda yang enerjik, yang penuh dengan intuisi serta
idealis, selalu dinamis dan bergeliat akan waktu yang lambat adalah pemuda yang
berbudaya, bervisi serta siap berkontribusi. Sementara itu, haruslah kita
pahami pula bahwa negara yang berdaulat ialah negara yang berbudaya. Indonesia
adalah negara berdaulat, juga memiliki banyak kebudayaan, namun Indonesia
kurang mampu untuk menjadikan budaya ini menjadi suatu kesatuan, pilar
pembangun demokrasi, ataupun menjadi tujuan negara. Indonesia haruslah
berbudaya pancasila, tak peduli ia dari golongan apa dan berbendera apa, budaya
tetaplah budaya, dan budaya yang paling ideal dalam artian merangkum segala
aspirasi dari inspirasi rakyat, ialah budaya pancasila.
II.
KESIMPULAN
A. Kritik
Pelaksanaan Pancasila,
dasar filsafah Negara kita, sebnenarnya masih sangat mengecewakan. Diantara
kita dan Negara ada suatu hubungan hak dan wajib.
B. Saran
III.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Katuuk,
Neltje F. Muchji, Achmad. PENDIDIKAN PANCASILA, Penenrbit Gunadharma, 1994.
2. Wirodiningrat,
Sri Soeprapto, Drs. PANCASILA YURIDIS KENEGARAAN, Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada,1994.
3. Darmodihardjo,
Dardi (dkk.), SANTIAJI PANCASILA, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1978.
4.
0 komentar:
Posting Komentar